Aku, wanita 19 tahun dengan tinggi 158 cm dan
berat 50kg. Seakan-akan tak menjadikanku sosok yang begitu istimewa dihadapan
orang.
Aku, normal.
Ya, normal. Aku wanita muslim yang mencoba
menjadi muslimah sejati. Kata orang, hijabin dulu hatinya, baru hijabin luarnya.
Mustahil! Manusia sumbernya nafsu, seiring berjalannya waktu, cobaan akan
semakin banyak dan terus bertambah. Kalau sudah punya niat baik, laksanakan!
Karena sebaik-baiknya waktu untuk berbuat baik adalah saat ini (H. R Muslim).
Aku punya segudang niat yang sangat baik untuk
berhijrah. Yaaa, memang belum sepenuhnya aku tanamkan dan lakukan dalam
kehidupanku. Aku sedang mencoba memperbaiki satu demi satu, karena kata
mentiku, nikmatilah prosesnya. Proses yang akan membuatmu semakin dekat dengan
Allah.
Sedikit sedikit aku mencoba menjadi kalem,
tidak banyak omong, tidak wasted, menjaga ucapan dan segenap hal yang mungkin
dapat melukai perasaan orang lain karna candaanku.
Ah, bersyukur sekali diterima di UNJ, aku
bisa ketemu dengan sejuta orang hebat. Termasuk menti mentiku. Aku bukan tipe
orang yang ansos (anti sosial). Aku berguru pada siapapun yang ku anggap pantas
dijadikan tempat menimba ilmu. Aku tidak mudah tersinggung, maka dari itu, aku
sangat suka dinasehati.
Aku....
Kadang merasa begitu hina. Hina, karena tidak
bisa membawa teman-temanku memiliki niat yang sama denganku, untuk bersama-sama
memperbaiki diri dan mendekatkan diri pada Allah. Kajian keislaman sering aku
ikuti, kata sang pembicara “jika kamu
tidak mampu menasehati dalam hal kebaikan, maka do’akanlah. Karena Allah maha
membolak-balikan hati”.
Ciri-ciri orang munafik yang tidak akan
menghirup bau surga adalah, ketika dinasehati dan ia berkata “Sesungguhnya,
nerakaku bukan urusanmu, dan surgaku belum tentu surgamu”.
Nauzubillahimindzalik.
Padahal yaa ukhti, akhi surga itu amat luas.
Sayang, kalau kita hanya menghuninya seorang diri tanpa mengajak orang-orang
yang kita cintai untuk masuk kedalamnya.
***
Ah, aku kenapa! Malah jadi cerita soal
hijrahku. Padahal, aku ingin sekali menceritakan keluh kesahku beberapa hari
ini.
Aku, sudah hampir 1,5 tahun ini menjomblo.
Hina dihadapan teman-temanku memang. Tapi aku
lebih merasa hina dihadapan Allah, ketika aku punya pacar.
Cukup sulit, menahan 1,5 tahun untuk tidak
pacaran, kadang, aku ingin seperti mereka, yang bisa berfoto dengan pacarnya,
lalu update ke sosial media seperti instagram dan facebook. Terlebih banyak
cibiran-cibiran halus dari teman-temanku yang meledekku karena selalu sendiri,
dan kemana-mana diantar oleh bapak.
Kadang, aku iri melihat mereka yang bisa
jalan-jalan, nonton bioskop bersama pacarnya. Ah! Aku suka sekali menonton
bioskop. Terlebih jika genre filmnya adalah science-fiction. Siapun yang
mengajak, takkan ku tolak rasanya.
Aku,
Merasa belakangan ini ada yang aneh dalam
diriku.
Sudah setahun lalu, kuputuskan untuk benar-benar
menjomblo. Awalnya, berharap “sang pangeran” ini akan menjadi pacarku, jadi aku
tidak mau pacaran pada siapapun kecuali dengannya.
Satu tahun penantian ini, ku pikir, aku akan
baik-baik saja.
Hingga akhirnya, aku tersadar niatku sudah
salah arah.
Hari itu, aku melakukan perdebatan dengannya,
hal yang sepele memang dan itu wajar terjadi, sering terjadi, dan memang selayaknya
terjadi diantara kita. Tapi aku tak menyangka, mengapa waktu itu, rasaya begitu
sakit. Perdebatan kecil yang membuatku terlihat lemah dihadapanya. Bahkan
hampir menangis, aku begitu lemah. Ada apa denganku? Aku orang yang pandai
berdebat, egois, tidak mau kalah, dulu. Sampai aku bertemu dengan orang, yang
benar-benar merubahku, bahkan mendorongku dengan lembut dan tanpa sadar.
Menjadi sosok yang kalem, tidak mudah marah, mencoba selalu berhusnudzon dan
selalu ceria.
Aku menelisik kebelakang.
Mulai dari pesan singkat yang sering ia
kirimkan. Entah untuk menanyakan tugas, meminta tolong, menayakan kabar, atau
bahkan memberikan perhatian kecil. Sesekali.
Harusnya aku bahagia, bahagia dengan
perhatian kecil yang ia selipkan. Wajar, aku sudah menunggu ini sejak setahun
yang lalu. Tapi anehnya! Aku tidak bahagia. Ketika ku tersenyum akan
sentilan-sentilan perhatiannya, aku selalu mendengar kabar bahwa ia tengah
dekat dengan wanita lain dan memberikan perhatian yang sama, bahkan lebih.
Kala itu, aku ingin cemburu, tapi aku tak
bisa. Aku bukan siapa-siapanya. Hanya teman, ah bahkan mungkin ia tak
menganggapku teman. Hanya kenal.
Setiap ku lihat ia tersenyum, aku selalu
menemukan alasan untuk ikut tersenyum pula. Setiap kali aku lihat ia tertawa,
aku selalu menemukan alasan untuk terawa pula. Bahkan setiap kali aku
melihatnya sedih, kala itu juga aku menemukan alasan untuk ikut bersedih,
walaupun aku tidak tahu apa penyebabnya.
Dia, laki-laki yang lebih tinggi dariku. Sudah
satu tahun ini, aku amati secara diam-diam. Berharap dipertemukan dalam ikatan
suci. Lamunan yang cukup jauh pikirku. Mencintai diam-diamkah? Konyol.
Sepandai-pandainya menyembunyikan bangkai, pasti akan tercium juga. Ku kira,
aku akan baik-baik saja dengan segenap perasaan ini.
Tapi nyatanya tidak! Aku selalu tersiksa,
bahkan ketika ku dengar dia sedang dekat dengan wanita lain. Tumpah, rasanya
air mataku ingin tumpah. Ingin menangis, dan berteriak! Kecewa, marah dan
benci. Tapi setiap kali aku tatap matanya, aku seakan menemukan harapan baru.
Melihat dari matanya, bahwa ia tak seburuk yang orang lain katakan kepadaku.
Aku selalu percaya, percaya setiap ucapan
yang ia ucapkan. Aku selalu klarifikasi terhadap apapun yang orang lain
perbincangkan soal ia. Karena aku ingin menghindari adanya gosip atau
pencemaran nama baik.
Aku pernah disentil, bahkan ditampar. Ya,
ditampar oleh ucapannya. Ia sesekali menasehatiku, untuk menjadi wanita yang
lebih baik, pintar memasak, kalem, dan menjaga tutur kata. Ah! Dia tidak hanya
berpesan ini padaku. Tapi entah megapa, aku selalu merasa setiap nasehat yang
ia berikan, adalah nasehat paling menyentil dan berimplikasi paling terlihat
agar aku berubah.
Namanya, bahkan selalu aku selipkan disetiap
do’aku. Aku tak bisa terus menyakiti hatiku hampir 1 tahun ini, menyelipkan
nama yang selalu menjadi motivator dan idolaku, penyemangat sekaligus orang
yang paling berperan penting dalam perubahanku.
Aku sadar diri, ketika diluar sana banyak
yang lebih baik dariku, dan memiliki rasa yang sama dengannya. Tapi mengapa aku
selalu yakin, yakin bahwa aku memiliki harapan, walaupun hanya 0,00000001%.
Aku bahkan tak memberinya perhatian layaknya
aku suka padanya. Aku selalu terlihat biasa-biasa saja, karena aku yakin. Cara
memberikan pelukan paling hangat adalah do’a.
Selalu mengawasi dan memperhatikan setiap
tindakannya belakangan ini, bodoh! Aku merasakan ada rasa yang semakin dalam
tertancap dihatiku. Bahkan aku merasa seperti sudah gelap, gelap hati ini.
Tidak bisa melihat mereka yang lebih baik dari dia. Selalu melihat dia.
Bahkan ketika aku pergi ke suatu tempat dan
melihat berbagai fashion laki-laki. Entah itu kemeja, jaket, baju muslim, atau
sepatu. Aku selalu membayangkan “ah suatu hari aku akan membelikan dia salah
satu atau bahkan semua benda itu, tapi nanti, nanti kalo udah halal” sambil
tertawa sendiri. Lama yaaa rasanya wkwk.
Ohyaa..
Belakangan ini, aku temui ia semakin dekat
dengan Allah. Mempelajari kitab al-qur’an dan kumpulan hadits hadits. Sholatnya
pun sudah awal waktu, terkadang ia menyelipkan waktu untuk membaca al-qur’an.
Kesibukkannya mendekatkan diri pada Allah,
membuat ia seakan melupakan ku dan orang sekitarnya. Aku tak menemui lagi pesan
singkat yang biasa ia kirimkan. Aku tak jumpai lagi gurauan dia yang biasa
meledekku. Biarkan! Sepertinya dia mulai menyadari perasaanku padanya sejak
hari itu... sudahlah!
Rasa ini sepertinya semakin dalam, rasa ingin
memilikinya pun semakin kuat tertancap dihatiku. Ah! Aku tak ingin menduakan
Allah yang tengah bersemi dan mendominasi hatiku.
Pergilah! Aku mulai mencintaimu