Kala itu, rintik hujan mulai turun lebat. Ku
kenakan jas hujan dan ku kencangkan tali pengikat pada tas ku berharap tidak basah
dan merusak isi didalamnya.
Hujan, nikmat tuhan yang begitu luar biasa,
namun banyak yang tidak merasakannya bahkan menghujat kehadirannya. Padahal
hujanlah yang membuat tanaman subur dan akhirnya bisa kamu makan. Hujanlah yang
membuat hewan-hewan itu segar dan akhirnya bisa sampai di hadapanmu untuk
disantap berbumbukan sambal terasi, hmm.. Masya Allah. Semua itu terjadi atas
kehendak Allah S.W.T.
Dengan jas hujan biru gelap yang menyelimuti
sekujur tubuhku, aku langkahkan kaki ini menuju kampus tercinta. Ah berlebihan,
tapi tidak. Kampus itu memang menjadi kampus impiannku, bahkan sejak aku masih
berada di bangku sekolah dasar.
Aku anak kedua dari tiga bersaudara, seorang
anak yang punya mimpi dan perencanaan, eh bukan perencanaan, tapi khayalah atas
masa depanku sejak kecil hehe.
Terlahir dengan harapan yang cukup besar dibalik
arti nama yang orangtuaku berikan 19 tahun lalu. Aku tumbuh seakan-akan ingin
mewujudkan harapan dalam nama itu.
Silviana Oktaferi Putri, ketika ku sebut nama
itu sebagian orang mungkin tidak percaya kalau aku berasal dari keluarga yang
seluk beluknya berasal dari Yogya. Entah mendapat inspirasi dari mana, orang
tuaku memberikan nama ini untuk putri keduanya.
Silviana, dengan penuh harapan berati seorang
anak yang cerdas.
Oktaferi, artinya adalah keberkahan di bulan
kelahirannya (re : oktober).
Dan putri, artinya adalah seorang perempuan
yang halus tutur katanya.
Berat memang, ketika mendengar arti kata yang
terselip dalam namaku, tapi lagi-lagi ku tekankan bahwa ini adalah do’a.
Harapan yang semata-mata orang tuaku berikan pada anaknya, kelak ketika
putrinya ini tumbuh dewasa.
Aku adalah anak yang tumbuh dalam keluarga
penuh warna, namun berlingkungan ab-abu. Ya, orangtuaku berasal dari kalangan orang
biasa (ibu) dan tentara (bapak). Dua keluarga berbeda, yang bahkan kala itu
hampir tidak bisa bersatu. Namun takdir berkata lain, ketika cinta sudah
mendominasi dan merangkul dua sijoli, maka bersatulah bapak dan ibuku.
Berasal dari budaya yang sama, yaitu “jawa”.
Ku kira aku akan tumbuh dengan didikan yang lembut, seperti keluarga jawa pada
umumnya. Namun tidak, aku dibesarkan dengan didikan yang tegas namun penuh
kasih sayang.
Bapak, laki-laki gagah ini selalu mendidik
anaknya bahwa kami harus menjadi manusia yang tegar, tidak lemah, cengeng
ketika di bully atau ada masalah, dan bergegas cepat, disiplin dan tepat waktu
layaknya militer. Makan, mandi, mengerjakan tugas pun. Kami anak-anaknya selalu
dididik agar menjalankannya dengan cepat.
Seram yaa keliatannya, tapi tidak! Aku
merasakan hal yang luar biasa dengan didikan bapakku. Saat dewasa ini, aku jadi
terbiasa datang tepat waktu, tepat janji pada orang lain, dan tidak wasting
time pada segala hal. Bahkan jam tidur pun diatur oleh bapak. Kami anak-anaknya
harus tidur jam 9 pada malam hari dan bangun pukul 5 pada pagi hari. Namun,
kadang aku tidak tidur sedini itu, karena tugas yang menuntutku untuk tidur
lebih malam. Bapak pun memaklumi.
Karena didikan bapak yang tegas itulah, kami
tumbuh menjadi anak yang kuat dan tidak mudah terserang penyakit. Sesekali kami
sakit, entah kecapekan, pusing, atau panas. Tapi kami tidak pernah menderita
penyakit-penyakit aneh yang disebabkan karena kurang tidur atau insomnia.
Mama, wanita yang tanggal kelahirannya beda 1
hari dengan kakakku ini, adalah wanita luar biasa yang sangat aku sayangi.
Berbeda dengan bapak, mama orangnya santai dan cuek. Ah entah mengapa kedua
sijoli ini bisa bersatu, padahal keduanya memiliki tipe yang cukup berbeda-__-
Mama adalah wanita penuh kasih sayang. Setiap
bangun tidur, mama selalu bangun lebih awal untuk menyiapkan makanan, masakan
mama pun tidak kalah dengan chef terkenal yang ada di Indonesia (ya, karena
mama ngga tau makanan luar negeri). Aku sering berlajar masak sama mama. Mama
sabar mengajari anaknya, dari belum bisa memegang pisau, sampai kena pisau, dan
sekarang udah mahir *yasiikkkkk.
Menjadi anak kedua dari pasangan suami istri
yang menikah pada Juni 1992, dan diresmikan oleh KUA (secara legalitas) pada 29
September 1992 ini ternyata membuatku merasa berbeda, jika dibandingkan dengan
keluarga jawa pada umumnya.
Orang tuaku menikah secara siri (agama) pada
Juni 1992 karena belum memiliki dana untuk mengundang pihak hukum dan
melegalkan pernikahannya yang akhirnya baru dapat disahkan berselang 3 bulan
kemudian.
Sempat menimbulkan pro dan kontra di antara
kedua keluarga yang berbeda ini, karena restu yang belum dikantongi. Akhirnya
kakek mendelegasikan tanggung jawab sepenuhnya kepada bapakku bahwa “jika kamu
menikah kamu harus mempunyai biaya sendiri”. Hal itulah yang akhirnya membuat
orang tuaku memutuskan untuk menikah secara agama terlebih dahulu. Dan berusaha
bersama mengumpulkan uang untuk mengundang KUA serta melanjutkan dengan resepsi
pernikahan, yang diselenggarakan selang 1 bulan setelah ijab qobul.
Suka duka pernah dialami kedua orangtuaku,
mulai dari menetap di yogya, hijrah ke Jakarta, mengontrak, sampai punya rumah
sendiri di kampung adalah alur yang cukup sulit jika ku bayangkan.
Ya, kedekatanku pada kedua orangtuaku
membuatku mengenal betul sosok mereka, mulai dari masa muda hingga saat ini.
Aku bersyukur, aku tidak dilahirkan di keluarga yang serta merta secara instant
kaya raya karena warisan dari keluargannya. Tapi dibesarkan pada keluarga yang
mampu menghadapi suka dukanya bersama. Berawal dari nol, hingga menuju 100
bahkan 1000.
Aku lahir 19 tahun lalu, tepatnya 03 Oktober
1996. Kelahiranku pun tidak seperti bayi-bayi pada umumnya.
Aku lahir premateur 8 bulan. Saat posisi
kepala masih berada di atas. Kelahiranku yang premateur disebabkan karena
kelebihan gizi yang aku dapatkan semasa di kandungan. Beratku kala itu, sudah
mencapai 4,1 kg sehingga harus dilahirkan lebih cepat untuk menghindari
berbagai resiko yang tidak diinginkan.
Saat mama bercerita, kala itu merupakan
masa-masa yang cukup sulit dalam hidupnya. Operasi caesar yang belum booming membuat hal itu tidak terdengar sampai
telinga mamaku. Akhirnya, mamaku harus berjuang melahirkan secara normal. Tak
terbayang bagaimana kondisinya kala itu, tubuh membengkak terutama pada bagian
kaki, kondisi bayi yang besar dengan posisi kepala masih diatas, tidak ada
operasi caesar dan sejumlah problem lainnya yang mendera ibu hamil terlebih
ketika mama harus melahirkanku dengan usia bayi yang belum saatnya dilahirkan.
02 Oktober 1996, mamaku masuk rumah sakit.
Tidak merasakan mules seperti ibu hamil yang ingin melahirkan pada umumnya.
Mama pun diberikan suntikan injeksi untuk menimbulkan kontraksi itu. Satu hari
penuh mama berada di rumah sakit, dengan berbagai perlengkapan melahirkan yang
sudah hinggap ditubuhnya, beliau menahan rasa sakit karena pembukaaan masih
menunjukkan pembukaan 3. Padahal pada orang yang akan melahirkan, pembukaan
minimal yang harus dicapai adalah 5 atau 6 tergantung besar tubuh bayi.
Pukul 22.00, 03 Oktober 1996 aku dilahirkan. Kondisi
diluar hujan deras, dan petir menyambar. Macam cerita nenek sihir jaman dulu.
Tak terbayang bagaimana kondisi mama kala
itu, melahirkan seorang bayi yang cukup besar belum pada saatnya, namun tetap
kuat dalam kondisi normal. Padahal dokter sudah berpesan kepada keluarga untuk memilih
menyelamatkan bayi atau ibunya, jika ada kendala-kendala yang tak diinginkan.
Aku bersyukur ya Allah, bersyukur sekali
mempunyai ibu yang luar biasa telah melahirkanku ke dunia. Ibu yang bahkan
mati-matian menyelamatkan anak dan kondisinya ditengah berbagai probabilitas
yang sudah diprediksi oleh dokter. Namun lagi-lagi, manusia hanyalah aktor
dibalik kehidupan dunia, Allah adalah sutradaranya. Allah yang maha berkehendak
atas apa yang akan terjadi di dunia ini.
Setelah prosesi melahirkan itu berakhir, aku
masuk inqubator. Sebuah rak bayi yang berisi alat-alat pendeteksi penyakit dan
kondisi tubuh, berselubung kaca dan beberapa lubang untuk alur udara. Rasanya,
kondisiku tidak terlalu baik saat itu. Namun, lagi-lagi Allah berkehendak lain,
aku normal, tidak ada kecatatan baik fisik maupun mental yang mendera bayi
premteur pada umumnya.
Almarhum kakekku (aku memanggilnya pak tuo)
pernah pesan berpesan pada mama *terjemahan bahasa jawa*
"Anakmu
ini akan menjadi anak yang besar,
yang mengangkat derajat orang
tuanya
aku jadi teringat legenda gatot kaca
lahir belum saatnya ditengah hujan dan petir
yang menyambar
karena telur gatot kaca yang dipecahkan oleh
rahwana
sebelum dierami oleh induknya”
Aamiin
pak wo hehe.
***
Hari berganti hari, aku tumbuh. Tepat 19
tahun setelah kejadian mengerikan yang hampir merenggut nyawa aku dan mamaku.
Aku berdiri. Disudut kota, ditengah trend dan mode yang dinamis. Aku tumbuh
menjadi gadis remaja yang biasa dan tidak terlalu mengikuti perkembangan zaman.
Bagiku, tumbuh dalam keluarga luar biasa yang pernah Allah anugrahkan, sudah
lebih dari cukup ketimbang menjadi wanita populer yang digemari banyak fans.
Prinsipku, prioritas pertama adalah keluarga,
lalu pendidikan, karir, barulah hubungan percintaan dan popularitas.
Aku tumbuh dalam lingkungan yang abu-abu.
Bukan dari mereka yang memang berasal dari keluarga muslim mukmin. Aku tumbuh
dalam keluarga muslim yang mengikuti alur. Sholat dan membaca al-qur’an. Ah,
seakan-akan jika sudah menjalankan perintah itu, kami sudah dianggap baik.
Mama dan bapakku berpesan, agar aku tidak
pernah menunda sholat atau bahkan sampai meninggalkannya. Ketika marah,
sholatlah! Ketika punya masalah, sholatlah! Membaca al-qur’an disetiap waktu
senggangmu! Bagi mereka, membaca al-qur’an dan sholat tepat waktu sudah menjadi
kewajiban yang harus dijalankan oleh umat muslim. Tapi tunggu, orang tuaku
tidak pernah menyinggung soal sunnah dan sebagainya. Disitu kadang aku merasa,
aku membutuhkan nilai plus. Karena tren dan modernisasi sangat pesat kala ini.
Iman seseorang gampang goyah, terlebih, aku tumbuh diantara lingkungan yang
abu-abu dan manusia yang heterogen.
Aku punya banyak teman, teman yang memang
teman. Bukan mereka yang menekan add
firend di media sosial lalu aku terima. Teman yang setiap hari masih
mengkontakku, entah hanya sekedar menanyakan kabar dan kesibukkan, atau bersenda
gurau menertawakan masa lalu. Kami tidak pernah saling menasehati, padahal...
sebaik-baiknya kawan adalah mereka yang saling measehati dalam hal kebaikan dan
menasehati dalam hal kebenaran. (Al-Ashr : 3).
Sulit rasanya, berada dalam lingkungan abu-abu
yang tumbuh dengan keimanan biasa-biasa saja bahkan lemah ketika aku mulai
beranjak dewasa.
Dulu, ketika berkumpul pasti yang ditanyakan
adalah “kapan punya pacar?” “pacar lo anak mana?” “si doi cakep yaaa” dan
sebagainya yang berhubungan dengan masalah duniawi.
Sampai pada akhirnya...
Aku masuk Universitas Negeri Jakarta dan
segalanya mulai berubah..
Aku memang belum bisa menjadi mereka yang
berkerudung panjang dan mengenakan rok. Aku masih menjadi aku, aku yang dulu.
Dengan gaya tomboy yang sedikit-sedikit mencoba rapih dan menjaga ucapanku.
Dulu, aku yang terlihat paling wow diantara
teman-temanku jika mengukur kadar agama. Tapi kini, aku malah merasa paling
buruk, ah! Bahkan mungkin jika ada kata yang lebih rendah dari buruk. Itu
mungkin lebih pantas disandingkan denganku.
Aku tersadar ketika aku mencoba memahami
budaya yang ada di UNJ. Melihat mereka ukhti ukhti cantik yang ketika
bersalaman selalu memeluk dan cipika cipiki sambil mengucapkan salam.
Mereka yang ketika berpapasan saling bertanya
“apa kabar? Sudah sampai mana hafalannya?”.
Mereka yang ketika adzan berkumandang
menghentikan aktivitas dan saling mengajak memenuhi masjid.
Mereka yang nampak anggun dengan balutan
hijab panjang berwarna-warni.
Ah! Tidak, tidak semua anak UNJ seperti itu.
Ada pula yang sesekali aku lihat seperti sosokku dulu, wanita, tapi setengah
pria. Bermain dan bersenda gurau dengan lawan jenis secara berlebihan.
Hei! Itu tidak terlalu buruk kokkkkk, aku
suka sekali dengan pepatah yang mengatakan “don’t
judge the book by cover”, kadang buku yang kita lihat buruk pada tampilan
depannya, belum tentu memiliki konten yang buruk pula. Keep in positive thinking guys! Aku sering loh diledek “orang kaya
lo bisa mentoring juga”, “gue baru tau lo bisa ngaji”, “tumben lo sholat
dhuha”, ‘yakin orang kaya lo gamau pacaran?” dan berbagai ledekan yang, ah...
lagi-lagi pasti karna “cover”.
Kadang aku ingin hijrah. Moving up. Tindak lanjut dari moving
on. Tapi, kadang pula aku masih menyelipkan niat duniawi didalamnya, yang
akhirnya membuatku ragu, takut kalau kalau menodai kesucian Islam dihadapan
Allah.
Doakan saja yaaa ukhti!
hamasah, ukh ^^
BalasHapus